Penjelasan Pertanyaan Dinas Perhubungan Pemda Tentang Wewenang PPNS DLLAJ
I. PENYITAAN SIM, STNK, DAN
KENDARAAN BERMOTOR OLEH APARAT DISHUB / DLLAJ
Razia Dishub Kota Cirebon |
Pemikiran Dishub
SIM dan STNK adalah termasuk Barang
Bukti yang dapat disita oleh Aparat Dishub sebab mengacu pada Pasal 39 KUHAP
SIM / STNK adalah termasuk benda yang dapat dikenakan penyitaan sebagai Barang
Bukti.
Maka PPNS dapat pula melakukan
Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas Jalan dengan menyita SIM / STNK.
Pertanyaan :
Mengapa ada penafsiran bahwa DLLAJ
/ Dishub tidak boleh menyita SIM, STNK, dan kendaraan bermotor ?
JAWABAN POLRI:
1. Yang benvenang melakukan
tindakan penyitaan
Pasal 1 angka 16 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana memberikan pengertian "penyitaan" adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak begerak, berwujud atau tidak berwujud
untuk pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Berdasarkan ketentuan tersebut
dalam konteks ini maka penyitaan harus hanya dilakukan oleh penyidik untuk
kepentingan pembuktian dalam rangka melaksanakan penegakan hukum dalam sistem
peradilan pidana.
2. Pengertian Penyidik
Berdasarkan Pasal 6 ay at (1) UU
No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidik adalah :
a Pejahat Polisi Negara Republik
Indonesia ;
b. Pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Selanjutnya pada Pasal 7 ayat 2
ditegaskan : "Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
mempunyai wewenang sesuai undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan
pengawasan petty idik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) humf a".
Perlu diingat bahwa berdasarkan
Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP tersebut, tidak semua aparat instansi /
departemen (aparat eksekutif) dapat diangkat sebagai penyidik karena aparat eksekutif
bukanlah alat negara penegak hukum. Tetapi karena keahlian PNS tertentu di
bidang tugas tertentu, maka ia diangkat sebagai Penyidik. Jadi, aparat DLLAJ
hukan PPNS kecuali ia diangkat sebagai Penyidik.
PPNS DLLAJ hanya PNS tertentu
saja, yaitu PNS yang diangkat sebagai Penyidik. Konsekuensinya, wewenang khusus
untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas Dan Angkutan
Jalan hanya dimiliki oleh PNS DLLAJ TERTENTU SAJA. Artinya, aparat DLLAJ yang
tidak diangkat sebagai Penyidik tidak boleh melakukan penyidikan. Jika
penyidikan dilakukan oleh PNS yang bukan Penyidik, maka tindakannya batal demi
hukum sebab UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan
mempersyaratkan hal tersebut dengan menunjuk ketentuan KUHAP.
Pasal 53 ayat (1) UU No. 14/1992
Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, menyebutkan "Selain pejabat Polri,
PNS tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi pembinaan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang lalu lintas
dan angkutan jalan".
3. Persyaratan PNS untuk diangkat
sebagai penyidik.
"PNS tertentu" sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP jo Pasal 2 PP No. 27 Tahun 1983 Tentang
Pelaksanaan KUHAP, diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan apabila
memenuhi dua persyaratan, yaitu :
a. Persyaratan Materiil (Pasal 2
ayat (1) huruf b PP No. 27 Tahun 1983) sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur
Muda Tingkat I (golongan II / b ).
b. Persyaratan formil (Pasal 2 ayat
(5) PP No. 27 Tahun 1983). Persyaratan formil adalah berkaitan dengan legalitas
kedudukan PNS tertentu sebagai penyidik, yakni:
1) Harus diangkat oleh Menteri
Kehakiman (sekarang oleh Menteri Hukum Dan HAM RI) atas usul dari departemen
yang membawahkan Pegawai Negeri tertentu ;
2) Pengangkatan oleh Menteri
dilakukan setelah ada rekomendasi dari Jaksa Agung dan Kapolri (penjelasan Pasal
2 ayat (5) PP No. 27 / 1983).
4. Kewenangan PPNS DLLAJ Dalani
Proses Penyidikan
Pasal 53 ayat (2) UULLAJ No. 14 /
1992 membatasi lingkup operasional wewenang PPNS DLLAJ dalam 6 (enam) macam hak
berbuat atau melakukan tindakan, dan 2 (dua) macam kewajiban atas penggunaan
hak tersebut yaitu :
a. Hak Berbuat / Melakukan Tindakan
:
1) memeriksa pemenuhan persyaratan
teknis dan laik jalan kendaraan bermotor;
2) melarang atau menunda
pengopersian kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik
jalan ;
3) meminta keterangan dan barang
bukti dari pengemudi, pemilik kendaraan atau pengusaha angkutan umum sehubungan
dengan tindak pidana yang menyangkut persyaratan teknis dan laik jalan
kendaraan bermotor;
4) menyita tanda uji kendaraan yang
tidak sah ;
5) memeriksa penjinan angkutan umum
di terminal;
6. memeriksa berat kendaraan
beserta muatannya.
Penjelasan Pasal 53 ayat (2) huruf
f menyebutkan :
"Alat yang digunakan untuk
memeriksa berat kendaraan beserta
muatannya dapat berupa alat untuk
menimbang yang dipasang
secara tetap pada suatu tempat
tertentu atau alat yang dapat
dipindah-pmdahkan ".
Arti penjelasan ini adalah, bahwa
untuk memeriksa berat kendaraan
diharuskan menggunakan alat untuk
menimbang.
b. Kewajiban:
1) membuat dan menandatangani
Berita Acara Pemeriksaan atas setiap tindakannya tersebut diatas, yaitu tentang
:
a) Pemeriksaan benda (kendaraan
bermotor) ;
b) Pemeriksaan tersangka
(pengemudi, atau pemilik kendaraan, atau pengusaha angkutan umum);
c) Penyitaan Surat (Tanda Uji
Kendaraan yang tidak sah);
d) Penghentian penyidikan.
2.) menghentikan penyidikan apabila
tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut:
a) Persyaratan teknis dan laik
jalan kendaraan bermotor;
b) Perijinan angkutan umum.
5. Batas kewenangan PPNS DLLAJ
Berdasarkan ketentuan diatas, dapat
dikatakan bahwa garis pembatas langkah penyidikan PPNS DLLAJ ada pada Pasal 53
ayat (2) huruf g, yaitu sejauh membuat Berita Acara atas tindakannya dalam
menjalankan wewenang yang disebutkan dalam huruf a s/d f sedangkan obyek
penyidikannya ditegaskan dalam huruf h Pasal tersebut yakni tindak pidana lalu
lintas dan angkutan jalan yang menyangkut persyaratan teknis dan laik jalan
kendaraan bermotor, serta perijinan angkutan umum.
6. Dengan demikian jelas bahwa :
a. Undang-Undang tidak memberikan
kewenangan melakukan tindakan penyitaan SIM dan STNK maupun kendaraan bermotor
kepada PNS DLLAJ maupun PPNS pada instansi DLLAJ sebab dalam pasal 53 UU No. 14
/ 1992 tentang LLAJ tidak ditemukan ketentuan yang memberi kewenangan itu
kepada DLLAJ.
b. Sepanjang prinsip negara hukum
masih menjadi sendi ketatanegaraan kita, konsekuensinya adalah bahwa wewenang
aparat pemerintah yang meletakkan kewajiban di atas warga masyarakat, maka
wewenang itu harus ditemukan di dalam Undang-Undang, dan dalam penegakan
hukumnya asas kepastian hukum harus diutamakan, tidak boleh mengadakan
penafsiran secara sendiri-sendiri.
II. PENAMAAN / ISTILAH YANG
DIGUNAKAN UNTUK CATATAN PENYIDIK
Pemikiran Dishub
Mengacu pada ketentuan Pasal 207
ayat (1) huruf a dan Pasal 211 KUHAP, untuk perkara Pelanggaran Lalu Lintas
Jalan tidak diperlukan Berita Acara Pemeriksaan
Pertanyaan:
Bagaimana pendapat Polri dengan
penamaan format catatan pelanggaran Lalu lintas jalan tertentu yang dibentuk,
dinamakan dan dipergunakan oleh jajaran aparat DLLAJ dengan nama "Catatan
Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan" (CP LLAJ) ? Sebab Polri menyebutnya
dengan istilah "Tilang".
JAWABAN POLRI :
1. "Tilang" adalah
akronim dari "Bukti Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu dengan suatu
format administrasi hukum yang dicipta oleh unsur-unsur sistem peradilan pidana
yaitu Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), Ketua
Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan Kapolri, dengan membuat kesepakatan bersama
mengenai Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu,
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 211 dan Pasal 212 UU No. 8 Tahun 1981
(KUHAP) dalam rangka penerapan ketentuan pidana dalam UU No. 14 Tahun 1992
Tentang LLAJ.
Tujuan dari instrumen hukum ini
adalah untuk memudahkan masyarakat melaksanakan sanksi pidana Pelanggaran Lalu
Lintas Jalan sekaligus merupakan solusi dalam menerapkan ketentuan ancaman
pidana denda dalam UU LLAJ yang sedemikian tingginya sehingga dapat disesuaikan
dengan kondisi kemampuan masyarakat di tiap daerah hukum.
Untuk memahami latar belakang
filosofis, sosiologis dan yuridis penerapan "Sistem Tilang"
memerlukan penjelasan yang komprehensif secara teoritis, Untuk itu dalam
kesempatan pendidikan / pelatihan bidang Penegakan Hukum Lantas hal ini dapat
diperoleh melalui pembelajaran terstruktur di Pusdik Lantas Polri, dimana
aparat DLLAJ juga diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan / pelatihan
dimaksud.
2. Jika jajaran Ditjen
Hubdat/Dishub menggunakan istilah "CP LLAJ", itu merupakan penamaan
semata, tidak masalah, sepanjang format tersebut memenuhi unsur-unsur yang
dipersyaratkan dalam ketentuan KUHAP dan berfungsi sebagai instrumen
penyelesaian perkara baik secara formil maupun materiil dan dapat diterima
dalam sistem peradilan pidana, serta diakui dan diterima oleh masyarakat
sebagai suatu instrumen hukum (memiliki kekuatan berlaku secara formil dan
materiil).
3. PROSEDUR PENYERAHAN BERKAS
PERKARA KE PENGADILAN
Pemikiran Dishub
Memperhatikan ketentuan Pasal 205
ay at (2) dan Pasal 211 sampai dengan Pasal 216 KUHAP, maka catatan pelanggaran
yang dibuat oleh PPNS Dishub/LLAJ wajib hukumnya diserahkan langsung ke
Pengadilan tanpa harus melalui Penyidik Polri.
TANGGAPAN POLRI
Pemikiran yang demikian adalah
keliru dan melanggar hukum, karena KUHAP telah menentukan bahwa acara proses
pidana yang dilaksanakan oleh penyidik Polri dan PPNS adalah:
1. PPNS wajib melaporkan kepada
penyidik Polri bila PPNS melakukan penyidikan, begitu juga apabila tindak
pidana telah selesai disidik oleh PPNS ia segera rnenyerahkan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Polri. Sebaliknya, diminta
atau tidak diminta berdasarkan tanggung jawabnya penyidik Polri wajib
memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan yang diperlukan kepada PPNS sejak
awal penyidikan (Pasal 107 KUHAP).
2. Dalam hal PPNS melakukan
penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi
hukum maka PPNS memberitahukan hal itu kepada penuntut umum melalui penyidik
Polri (Pasal 109 KUHAP).
Dalam rangka menjunjung tinggi
supremasi hukum maka baik pemyidik, pengacara, penuntut umum dan hakim
pengadilan harus berpedoman kepada ketentuan UU No. 8 Tahun 1981 sebagai
pedoman dalam penyelesaian perkara pidana.
IV. MEMBERHENTIKAN KENDARAAN
Pemikiran Dishub
Dengan menafsirkan Pasal 111 KUHAP
(tertangkap tangan), Penyidik PNS wajib dan secara otomatis melekat pada
dirinya sebagai petugas yang berwenang dalam rangka tugas memberhentikan
kendaraan yang telah melakukan pelanggaran lalu lintas jalan tanpa menunggu
Polisi / Korwas.
TANGGAPAN POLRI
1. Dalam hal tertangkap tangan
setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai kewenangan dalam
tugas ketertiban, dan ketentraman umum wajib menangkap tersangka untuk
diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik
(Pasal 111 ayat (1) KUHAP).
2. Dasar kewenangan penyidik PNS
DLLAJ dalam melakukan tindakan terhadap tindak pidana di bidang lalu lintas
adalah Pasal 53 UU No. 14 tahun 1992 tentang LLAJ yang telah merumuskan
sejumlah 8 kewenangan sebagaimana telah diuraikan pada jawaban atas pertanyaan
No. I tersebut di atas.
Dalam ketentuan tersebut tidak disebutkan adanya
wewenang PPNS DLLAJ untuk menghentikan kendaraan
3. Pemeriksa yang berhak
menghentikan kendaraan bermotor / pengemudi.
Pasal 2 PP No. 42 Tahun 1992
Tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Di Jalan menyatakan, pemeriksaan
dilakukan oleh Polri dan Pegawrai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki kualifikasi
tertentu di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pertanyaan pokok yang perlu dalam
pembahasan ini adalah, ntengapa PPNo. 42 /1993 menyertakan Polri dalam
pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan? Atau, Dapatkah Pemeriksaan Kendaraan
Bermotor Di Jalan dilaksanakan secara sendiri/mandiri oleh PNS LLAJ ?
Kunci untuk menjawab pertanyaan ini
terletak dalam Pasal 7 PP No. 42 / 1993 , yang berbunyi:
"Polisi Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor di jalan, berwenang
untuk:
a. menghentikan kendaraan bermotor;
b. meminta keterangan kepada pengemudi;
c. melakukan pemeriksaan terhadap
surat izin mengemudi, surat tanda
nomor kendaraan, surat tanda coba
kendaraan, tanda nomor kendaraan
atau coba kendaraan bermotor.
Selanjutnya Pasal 8 mententukan :
"Pegawai Negeri Sipil dalam
melaksanakan pemeriksaan Kendaraan Bermotor dijalan, berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan terhadap
tanda bukti lulus uji;
b. melakukan pemeriksaan terhadap
flsik Kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hurufb.
Ketentuan pasal 7 PP No. 42 / 1993
tersebut adalah merupakan cerminan pengakuan PP ini terhadap kewenangan Polri
yang melekat pada jabatan Polri (setiap anggota Polri) sebagaimana telah
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-Undangan yaitu Undang-Undang No. 8 / 1981
(KUHAP) dan Undang-Undang No. 2 / 2002 tentang Polri. Sebab kewenangan yang
disebutkan dalam Pasal 7 PP No. 42 / 1993 tersebut adalah wewenang yang
diberikan KUHAP kepada Polri dalam melaksanakan kewajiban sebagai penyelidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 KUHAP. Demikian juga di dalam UU No. 2/2002
Tentang Polri, wewrenang menyuruh berhenti seseorang serta memeriksa tanda
pengenal diri, melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat, tertulis secara tegas
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d dan huruf e UU Polri tersebut. Perlu diketahui,
bahwa tindakan hukum "menyuruh berhenti seseorang" hanya diberikan
oleh Undang-Undang kepada Polisi, dan kewenangan Kepolisian yang demikian
berlaku secara universal.
Dapatkah PNS LLAJ menghentikan
kendaraan untuk diperiksa? Pembuat Undang-Undang menyadari bahwa wewenang
menyuruh berhenti seseorang merupakan kewenangan Polri sehingga Undang-Undang
tidak memberikan kewenangan itu kepada PNS. Maka Sepanjang prinsip negara hukum
ntasih ntenjadi sendi ketatanegaraan kita, konsekuensinya adalah bahwa wewenang
penierintahan yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang tidak dapat
ditukar-tukarkan. Artinya :
a. Meskipun pemeriksaan kendaraan
bermotor dilaksanakan dengan cara gabungan antara Polri dan aparat DLLAJ, yang
berwenang menghentikan kendaraan bermotor/pengemudi hanyalah petugas Polri, dan
tidak boleh oleh yang lain.
b. Aparat DLLAJ akan dapat
mengoperasionalkan kewenangannya setelah Polri menggunakan kewenangannya
menghentikan pengemudi kendaraan.
c. Meskipun aparat DLLAJ yang
melakukan pemeriksaan adalah PPNS, ia tidak berwenang menghentikan kendaraan
bermotor sebab dalam pasal 53 UU No. 14 /1992 tentang LLAJ maupun di dalam PP
No. 42 / 1993 tidak ditemukan ketentuan yang memberi kewenangan itu kepada
DLLAJ.
V. KEDUDUKAN PPNS LLAJ
Pemikiran Dishub
1. Kedudukan penyidik Polri dan
PPNS adalah bersifat mandiri,masing-masing tidak saling membawahi dan
melaksanakan penegakan hukum sesuai dengan undang-undang masing-masing yang
mengamanatkannya.
2. Dapat ditegaskan baliwa penyidik
Polri-lah yang membantu PPNS, bukan sebaliknya yang selama ini berkembang
pemahaman bahwa PPNS sebagai pembantu penyidik Polri. Hal ini berdasarkan
pemahaman DLLAJ terhadap Pasal 107 KUHAP beserta penjelasannya yang berbunyi
iwPenyidik Polri diminta atau tidak diminta berdasarkan tanggung jawabnya wajib
memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada PPNS, untuk itu penyidik PNS
sejak awal wajib memberitahukan tentang penyidikan itu kepada penyidik Polri.
TANGGAPAN POLRI
Pertanyaan pokok dalam pembahasan
wewenang PPNS DLLAJ sebagai Penyidik perlu dirumuskan seperti ini : mengapa
pembuat Undang-Undang menempatkan aparat DLLAJ sebagai Penyidik, dan sejauhmana
kewenangan penyidikan diberikan oleh UU No. 14 Tahun 1992 kepada PPNS DLLAJ ?,
1. Alasan pemberian w^ew?enang
khusus untuk melakukan penyidikan kepada PNS tertentu di lingkungan departemen
yang membawahkan DLLAJ, adalah sebagaimana ditegaskan pada Bagian Penjelasan
Pasal 53 ayat (1) UU No. 14 /1992 Tentang LLAJ yang berbunyi :
"Penyidikan pelanggaran
terhadap persyaratan teknis dan laik jalan memerlukan keahlian, sehingga perlu
adanya petugas khusus untuk melakukan penyidikan disamping Pegawai yang biasa
bertugas menyidik tindak pidana. Petugas dimaksud adalah Pegawai Negeri Sipil
di lingkungan departemen yang membawahi bidang lalu lintas dan angkutan jalan
".
Makna ketentuan tersebut sangat
jelas, bahwa "atribut penyidik" yang disandang oleh PNS tertentu di
lingkungan DLLAJ adalah Penyidik dalam arti terbatas yang berfungsi untuk
mengefektifkan Penyidik Polri, artinya, tugas yang menjadi tanggung jawab PPNS
DLLAJ dalam proses penyidikan itu hanya dalam lingkup persyaratan teknis dan
laik jalan kendaraan bermotor, karena alasan memberi wewenang khusus padanya
untuk melakukan penyidikan adalah keahliannya di bidang teknis kendaraan
bermotor.
2. Pertanyaan selanjutnya dalam
konteks ini adalah, siapakah yang mempertanggun&jawabkan tindakan PPNS
DLLAJ ? atau dengan pertanyaan : kepada siapakah Berita Acara Pemeriksaan yang
dibuat oleh PPNS DLLAJ diserahkan dan kepada siapa diberi pemberitahuan bahwa
penyidikan dihentikan karena tidak cukup bukti ?
Kewenangan PPNS secara yuridis
operasional mengandung konsekuensi pada hubungan fungsional antara Penyidik
Polri dengan PPNS yang memberikan atribut kepada Penyidik Polri sebagai atasan
fungsional dari PPNS. Hal ini dijelaskan dalam ketentuan Pasal 107 dan Pasal
109 KUHAP.
3. Berdasarkan ketentuan Pasal 107
dan Pasal 109 KUHAP maka jelas, tanggungjawab yuridis justisiil atau tanggungjawab
proses peradilan pidana dari langkah-langkah tindakan PPNS DLLAJ dalam
penyidikan berada pada atasan fungsionalnya yaitu Penyidik Polri, dalam hal ini
Penyidik Polisi Lalu Lintas. Bagian penjelasan Pasal 53 ayat (3) UU LLAJ No. 14
/ 1992 menegaskan hal itu : "Pelaksanaan penyidikan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan Pemndang-undangan yang berlaku antara lain Pasal 7 ayat (2)
dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana".
VI. MENGGUNAKAN LAMPU WARNA BIRU
DAN SIRENE SERTA PENGAWALAN
Pernikiran Dishub :
1. Lampu rotator dan bunyi sirine
menurut aparat Dishub dapat dipasang / digunakan pada kendaraan DLLAJ / Dishub
dan Satpol PP karena aparat tersebut adalah juga penyidik (PPNS), sehingga
rotator dan sirine diperlukan untuk penyidikan.
2. Petugas Penegak Hukum tertentu
yang dimaksud dalam Pasal 66 PP No. 44 Tahun 1993 Tentang Kendaraan dan
Pengemudi adalah juga DLLAJ sebagai "Penegak Hukum Tertentu".
3. POM, TNI bukanlah petugas
penegak hukum tertentu.
4. Pengawalan oleh petugas yang
berwenang, yang dilengkapi dengan rotator, sirine atau tanda-tanda lainnya
adalah boleh saja oleh Dishub / DLLAJ.
TANGGAPAN POLRI:
1. Perlengkapan Rotator dan atau
Sirine. Pada Kendaraan Bermotor Petugas
Ada kalanya penggunaan rotator dan
sirene pada kendaraan bermotor penyelidik/penyidik dibutuhkan dalam kegiatan
mengejar pelaku tindak pidana (pelaku kejahatan/criminal) karena memerlukan
prioritas jalan / lalu lintas atau sedang melakukan pengawalan tahanan dan
membutuhkan kecepatan mencapai tujuan dalam pengawasan yang ketat.
Akan tetapi berkaitan dengan fungsi
PNS DLLAJ sebagai penyidik tentu saja tidak memerlukan peralatan tersebut
karena :
1. Pasal 53 UU No. 14 Tahun 1992
tentang LLAJ yaitu peraturan yang menjadi dasar kewenangan PPNS DLLAJ tidak
merumuskan adanya kewenangan PPNS DLLAJ untuk melakukan penghentian kendaraan
bermotor ataupun mengejar orang / tersangka sebab wewenang tersebut hanya
diberikan undang-undang kepada Polri.
2. Aparat DLLAJ melaksanakan
kewenangannya memriksa tanda bukti lulus uji dan kelaikan fisik kendaraan,
adalah setelah anggota Polri menghentikan Kendaraan Bermotor / Pengemudi (Pasal
7 dan Pasal 8 PPNo. 42 Tahun 1993).
Tugas Dan Wewenang Pengawalan Lalu
Lintas
a. Bahwa Pengawalan Lalu Lintas
pada hakikatnya adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh Polisi
Lalu Lintas tertentu yaitu yang bertugas sebagai Petugas Pengawal dengan
menggunakan sarana kendaraan tertentu dan cara bertindak tertentu dalam rangka
melaksanakan tugas dan wewenang Polri yang diperintahkan Undang-Undang untuk
menjamin keamanan, ketertiban, perlindungan dan pelayanan kepada warga
masyarakat atau Pemerintah, yang dilaksanakan secara terus menerus dalam satu
rangkaian gerak pindah obyek yang dikawal melalui jalan sehingga terhindar dari
gangguan, selamat dari ancaman dan sampai di tujuan dengan lancar, tertib,
terlindungi dan aman.
b. Bahwa melaksanakan tugas
Pengawalan Lalu Lintas bukanlah sekedar menggiring kendaraan lain yang dikawal
dengan membunyikan sirene yang meraung-raung dan atau lampu yang
berputar-putar, melainkan harus dilaksanakan sesuai dengan nornia (ukuran yang
berlaku menurut hukum), standar (ukuran baku yang dianut / digunakan oleh
Kepolisian secara universal), prosedur (cara pelaksanaan / taktik bertindak
menurut manajemen tugas bersama unit pendukung), dan kriteria (ukuran yang
digunakan untuk menilai hakikat / bobot ancaman yang disesuaikan dengan
penugasan dan sarana yang digunakan).
c. Tugas Pengawalan Lalu Lintas
merupakan perintah Undang-Undang kepada Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
14 ayat (1) huruf a dan huruf b yang berbunyi :
" Dalam melaksanakan tugas
pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia
bertugas :
1) melaksanakan pengaturan,
penjagaan, pengawalan, dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan
pemerintah sesuai kebutuhan ;
2) menyelenggarakan segala kegiatan
dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan.
d. Bahwa dalam rangka
menyelenggarakan tugas tersebut, Pasal 15 ayat (1) huruf e UU Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Polri memberikan wewenang kepada Polri untuk "mengeluarkan
Peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif Kepolisian".
Oleh karena wewenang tersebut
diperoleh Polri secara langsung dari redaksi Pasal Undang-Undang, maka wewenang
itu bersifat atributif atau bersifat asli dan karenanya memberi hak dan
kewajiban kepada Polri menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang
dengan mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengawalan Lalu Lintas.
e. Berdasarkan ketentuan Pasal 14
ayat (1) huruf a dan huruf b serta Pasal 15 ayat (1) huruf e UU No.2 Tahun 2002
Tentang Polri, Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengawalan Lalu Lintas adalah
sebagaimana telah diatur dalam lampiran Surat Keputusan Direktur Lalu Lintas
Polri No.Pol: Skep/29/IX/2005 tanggal 22 September 2005 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Polisi Lalu Lintas (Vademikum Polisi Lalu Lintas).
f. Bahwa Kawal Kehormatan hanya
diperlakukan bagi Presiden/Kepala Negara Republik Indonesia dan Wakil Presiden
Negara Republik Indonesia serta Kepala Negara dari Negara Asing yang sedang
melaksanakan kunjungan Kenegaraan di Indonesia, yang pengaturannya dikoordinir
oleh Pasukan Pengaman Presiden dan Menteri Sekretaris Negara.
g. Sedangkan kawal keamanan
terhadap pejabat tertentu atau person / orang tertentu dan atau benda / obyek
tertentu hanya dapat dilaksanakan oleh Polri sesuai perintah Undang-Undang.
Tugas Pengawalan Adalah Tugas
Profesional
a. Profesi adalah pekerjaan
tertentu yang dikuasai karena keahlian, kecakapan dan keterampilan yang
diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan khusus dan persyaratan khusus yang
mendapat legalitas dari negara/Pemerintah.
b. Tanggung jawab profesional atas
keahlian dan kecakapannya melahirkan kewenangan/kekuasaan tersendiri sehingga
memiliki monopoli atas keahliannya itu. Inilah makna kompetensi yang dimiliki
oleh para profesional.
c. Bahwa berdasarkan Pasal 31 dan
Pasal 32 UU No.2 Tahun 2002 Tentang Polri, anggota Polri harus memiliki
kemampuan profesi yang dilaksanakan melalui pendidikan dan latihan serta
pengembangan pengalaman di bidang teknis Kepolisian, dan terikat dalam satu
ikatan moral yaitu kode etik profesi Polri.
d. Tugas pengawalan harus dilakukan
oleh aparat negara yang profesional yaitu personel/petugas yang
terlatih/terdidik di bidang pengawalan sehingga ia cakap dan mahir menggunakan
sarana pengawalan, memiliki inteligensia yang tinggi menganalisis situasi,
memiliki kekuatan fisik yang terlatih dan postur tubuh yang sesuai dengan
sarana yang digunakan, terampil mengambil keputusan dalam situasi darurat,
serta memiliki kompetensi melakukan tindakan hukum karena kewenangannnya itu
mendapat legalitas dari Undang-Undang.
e. Di dalam negara hukum cara
aparatur Pemerintah memperoleh wewenang harus berasal dari Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku karena berkenaan dengan tanggungjawab yuridis
dari penggunaan wewenang tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan
pemerintahan yang otoritasnya dapat diuji terhadap Undang-Undang Dasar
(wewenang itu konstitusional).
VII. PENEGAK HUKUM DI BIDANG LLAJ
BERKAITAN DENGAN UNDANG-UNDANG OTONOMI DAERAH
Pernikiran Dishub
1. Berdasarkan Undang-undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemda maka : bidang perhubungan merupakan urusan wajib dan
harus diselenggarakan oleh Pemda Provinsi / Kabupten / Kota termasuk penegakan
hukum terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas jalan tertentu /
penyidikan seluruh tindak pidana LLAJ.
2. Berdasarkan Pasal 237 UU Pemda
tersebut yang berbunyi :
" Semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib
mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada undang-undang ini".
Maka menurut Dishub semua Peraturan
Perundang-undangan lain termasuk UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri wajib
menyesuaikan pada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda.
TANGGAPAN POLRI:
1. Jajaran Dishub perlu memahami
secara utuh mengenai pengertian dari penegak hukum yang dimaksud dalam sistem
peradilan pidana sebagaimana diatur oleh UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana.
2. Aparat Dishub adalah Aparat
Eksekutif, bukan Alat Negara Penegak Hukum . Sedangkan PNS DLLAJ yang memiliki
atribut sebagai Penyidik (PPNS DLLAJ), secara fungsional berada di bawah
Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Polri
3. Untuk memahami maksud dari Pasal
237 UU No. 32 Tentang Pemda tersebut, dianjurkan agar membaca dengan tuntas
bagian penjelasan Pasal 237 tersebut yang berbunyi : "Yang dimaksud dengan
Peraturan Perundang-undangan dalam ketentuan ini antara lain : Peraturan
Perundang-undangan sektoral seperti UU kehutanan, UU pengairan, UU Perikanan,
UU Pertanian, UU Kesehatan, UU Pertanahan, dan UUPerkebunan.".
PENUTUP
1. Dalam rangka peningkatan
profesionalitas PPNS DLLAJ / Dishub Pemda perlu peningkatan koordinasi dengan
penyidik Polri / Polisi lalu Lintas agar terwujud harmonisasi dan sinkronisasi
setiap tindakan dalam penegakan hukum.
2. Diharapkan jajaran Dishub
meningkatkan pelaksanaan tugasnya sesuai fungsi di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, seperti uji kendaraan bermotor (keur), ijin trayek angkutan
penumpang umum, pengadaan rambu-rambu lalu lintas dan traffic light,
fungsionalisasi jembatan timbang untuk pengawasan batas muatan dan sebagainya,
sehingga upaya penegakan hukum yang diupayakan Polri dan PPNS dapat mewujudkan
kepastian, keadilan dan kemanfataan bagi masyarakat yang bermuara pada tegaknya
kewibawaan Negara Republik Indonesia.
3. Disarankan agar jajaran Dishub
menyelenggarakan diskusi atau seminar atau pencerahan pemahaman hukum khususnya
di bidang ketatanegaraan dan atau hukum pemerintahan guna memahami sistem
penataan tugas dan fungsi lembaga-l embaga alat negara, departemen, dan
institusi-institusi yang ada dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia karena hal tersebut terkait dengan pemahaman tentang
kostitusionalitas dan setiap Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tugas
pokok fungsi dan peranan masing-masing dalam mencapai tujuan negara
Sumber:http://iwanteratai.blogspot.com/2010/02/penjelasan-pertanyaan-dinas-perhubungan.html
masi ada aparat negara seperti itu?
BalasHapusUud 22 thn 2009 tentang lalu-lintas,kementrian perhubungan perlu mengusulka pada pemerintah
BalasHapusAgar me-Revisi uud tersebut,terlalu memihak pada polisi.